Siang itu, Sabtu 20 Januari 2018, para volunteer tusiwork mulai berdatangan di YAPTI. Meski ada beberapa orang yang tersesat, semua tiba dengan selamat. Tentu saja berkat monitoring volunteer lain yang sudah ada di YAPTI dan juga berkat bantuan google maps.
Siang itu akan diadakan trial class. Trial class adalah kelas percobaan untuk
merasakan suasana kelas secara langsung sebelum kelas sesungguhnya dimulai.
Trial class dimulai
dengan kelas Bahasa Inggris oleh kak Citra sebagai volunteer pengajar dan 7
orang volunteer pendamping. Peserta kelas bahasa Inggris yang hadir hanya 5
dari 8 orang peserta yang terdaftar karena ada yang keluar daerah. Jadi, 2 orang relawan pendamping hanya mengamati bagaimana pendamping
lain membantu tunanetra belajar bahasa Inggris. Para peserta sangat
bersemangat, pengajar dan pendamping tak kalah semangatnya.
Kelas Bhs. Inggris menjadi Pembuka Trial Class
Kelas diawali dengan perkenalan
singkat antara pengajar, pendamping dan peserta. Kak Citra kemudian meminta
peserta dan pendamping menyebut namanya satu per satu disertai spelling agar peserta terlatih
pengucapan. Pendamping pun tak kalah heboh menyebut nama kemudian spelling. Kak Citra kemudian menanyakan
umur masing-masing dan tentu setelah menjawab pun harus disertai spelling. “How old are you?”, “I am ninety
years old” jawab Yoga dengan
semangat. Semua orang dalam kelas tertawa ketika Yoga salah menyebut umur, yang harusnya
19 menjadi 90 tahun. Yoga dengan
percaya diri mengulangnya dan menjadi bahan candaan tersendiri di kelas siang
itu.
Trial class berlangsung 90 menit. Setelah trial class diadakan briefing.
“ Sebenarnya teman-teman peserta sudah bisa bercakap tapi masih agak malu,
aksennya juga sudah bagus karena terlatih listening
dari screen reader.” Kata kak
Citra memaparkan pengalamannya mengajar tunanetra.
Setelah sholat Ashar trial class kedua adalah kelas literasi
oleh kak Nunu sebagai volunteer pengajar
dan sudah memiliki pengalaman menulis di komunitas yang dipimpinnya yaitu
komunitas blogger Anging Mammiri. Kak Nunu memulai perkenalan di kelas literasi
dengan cara unik, peserta dan pendamping dipersilahkan menyebut nama dan satu
hal yang orang lain belum tahu mengenai diri masing-masing. Ada Yoga yang
ternyata suka menanam. Ada Kak Syarif yang memiliki kegemaran baru dalam bidang
podcast . Semuanya
memiliki hal-hal yang memang tidak diketahui orang lain.
Kak Nunu mengarahkan peserta dan
pendamping duduk berhadapan kemudian memberikan pertanyaan kedua. Kalau diberi
kesempatan ingin memiliki kekuatan, ingin jadi apa?. Jadilah para peserta dan
pendamping berimajinasi.
Kelas Literasi yang penuh semangat
Pertanyaan ketiga. Kalau misal
ada mesin waktu, mau ke masa lalu bagian mana dan kenapa?. Pertanyaan ini
sempat membuat Nanda sebagai pendamping terharu saat Yoga mengatakan “Kalau ada
mesin waktu saya ingin kembali di usia kanak-kanak ketika saya masih bisa
melihat.”
Pertanyaan keempat. Ketika umur
60 tahun, apa yang kalian inginkan?. Refleks Yoga menjawab “ingin punya cucu,”
lagi-lagi Yoga membuat kelas riuh. Dia memang sangat bersemangat mengikuti kelas literasi karena ingin struktur penulisannya
bagus sehingga bisa menulis dan bisa berbagi dengan orang lain melalui
tulisannya.
Pertanyaan-pertanyaan yang
mengajak peserta mengingat masa lalu dan membayangkan masa depan sengaja
diberikan kak Nunu agar peserta terbiasa berimajinasi karena sangat membantu
dalam menemukan ide tulisan.
Masing-masing peserta di kelas
literasi memang sudah memiliki cita-cita dalam hal kepenulisan. Seperti kak
Riska yang ingin membuat buku “Seribu Puisi”. Kak Tiar yang ingin membuat
novel. Kak Syarif yang ingin menulis agar dikenal.
Minggu, 21 Januari
Trial class hari kedua agak berbeda, kelas dimulai sedikit
terlambat. Kelas terkendala kurangnya laptop yang dibutuhkan untuk trial class komputer. Setelah Kak Syarif
sebagai pengurus PERTUNI kasak kusuk mencari laptop, jadilah beberapa peserta
yang tidak memiliki laptop menggunakan laptop PERTUNI dan laptop pendamping. Trial class komputer dibagi menjadi dua
kelas karena memang peminatnya lebih banyak dibanding kelas yang lain. Kak Unga
dan Kak Sri menjadi pengajar di kelas komputer.
Kelas komputer dimulai dengan
perkenalan singkat antara pengajar, pendamping, dan peserta. Di trial class ini, Kak Unga dan Kak Sri
mengajarkan mengetik menggunakan 10 jari. Peserta dikenalkan mengenai posisi keyboard, menghapal
posisi tangan dan jari pada keyboard, peserta
juga diajarkan
meletakkan jari pada posisi awal yang benar.
Belajar Pengetikan 10 Jari
Ada sedikit kelucuan di kelas
komputer. Ketika peserta mulai heboh membicarakan tentang “Damayanti”
pendamping mulai sedikit bingung. Ternyata “Damayanti” adalah sebuah aplikasi pembaca layar atau Screen reader. Pendamping di kelas komputer merasa
mendapat pengalaman baru mendampingi teman-teman tunanetra belajar, salah
satunya mengenai screen reader yang
mereka gunakan.
Screen reader adalah sebuah perangkat lunak yang
diperuntukkan membantu penyandang tunanetra membaca tulisan pada gawai atau
layar komputer. Cara kerja perangkat lunak tersebut adalah dengan mengubah tulisan di layar
menjadi ucapan (text to speech).
Secara alami mouse tidak begitu berguna bagi penyandang tunanetra sehingga
mereka lebih sering bekerja menggunakan keyboard.
Screen reader juga memiliki banyak shortcut, misalnya membaca beberapa
bagian di window yang aktif atau menghidupkan dan mematikan beberapa fitur screen reader tersebut.
Peserta di kelas komputer
memiliki kemampuan yang berbeda-beda. Sebagian sudah hafal letak keyboard. Ada yang sudah lancar
mengetik. Ada juga yang masih membutuhkan waktu lama mengetik ketika
mendapatkan instruksi dari pendampingnya.
Kak Evi yang telah memiliki
pengalaman mendampingi tunanetra di Jambore TIK Nasional tahun 2017 mengatakan
“ tunanetra memang harus menguasai keyboard
dan fungsinya karena mereka tidak bisa menggunakan mouse kecuali yang low vision”.
Trial class terakhir adalah kelas pemrograman. Kali ini pengajarnya
adalah Kak Na’im. Peserta di kelas pemrograman kebanyakan kaum adam. Kelas
dimulai dengan perkenalan kemudian dilanjutkan dengan pemaparan materi. Kelas
ditutup dengan diskusi lepas mengenai keberlanjutan kelas pemrograman
kedepannya.
Kelas Favorit Peserta Laki-laki
“Trial class ini diperuntukkan bagi volunteer baik pengajar maupun pendamping karena ini adalah
pengalaman pertama. Tentu mengajar difabel membutuhkan teknik yang berbeda,”
kata Kak Evi setelah trial class selama
2 hari berakhir.
Semoga semangat para volunteer dan peserta tetap terjaga di
bulan Februari, Maret, April, dan bulan-bulan berikutnya. Sekali lagi,
SEMANGAT!!!
Tidak perlu sempurna untuk bisa
bermanfaat bagi sesama.....