Setiap manusia berdaya seperti listrik. Kisah mereka seperti aliran
listrik yang berakhir menghidupkan televisi, cas ponsel, dan/atau lampu. Cerita
saya adalah aliran kecil sederhana tanpa disabilitas. Mengenal mereka hanyalah
sebatas membaca buku biografi Helen Keller yang tebal buku tak cukup menampung
semua kisahnya. Usaha Helen Keller yang jatuh bangun untuk sekadar belajar
berbicara kemudian membuat kekaguman muncul dan mendorong saya mencari tahu
lebih tentang disabilitas.
Salah satu aktifitas belajar di kelas Tusiwork |
Awalnya sedikit gugup dengan pemikiran-pemikiran kolot saya bahwa bertemu dengan orang-orang berbeda akan membutuhkan waktu serta usaha untuk dapat mengerti mereka. Pemikiran itu runtuh beberapa menit setelah bertemu. Tak ada yang berbeda. Mereka berjalan, tertawa, bercanda, mengantuk saat belajar, dan bersenandung menuruni tangga. Semua sama seperti saya saat di kelas dan teman saya lainnya.
Tunanetra Sighted Network atau akrab disapa Tusiwork adalah komunitas
tempat saya membantu mendampingi pengajaran Bahasa Inggris dan Kelas Literasi
yang mengarahkan tunanetra menulis setiap sabtunya. Sekali lagi pikiran kolot
saya runtuh melihat tunanetra mengetik tulisan di laptop dan meng-upload ke
blog.
Saat itu 'inklusif' belum hadir di jiwa. Kata itu baru muncul saat salah seorang tunanetra yang kemudian menjadi teman diskusi saya menceritakan banyak hal tentang disabilitas mulai dari penggunaan istilah disabilitas dan difabel sampai kaitan antara disabilitas dan kemiskinan. Dari diskusi itu kesadaran berinklusi merasuki jiwa kuno saya dengan stigma dangkal tentang disabilitas.
Tulisan teman-teman tunanetra yang rutin di-upload di blog turut meruncingkan logika. Kemudian saya mengerti betapa inklusif bukan sekadar pemenuhan fasilitas, tapi juga keadaan pola interaksi dan respon masyarakat. Masyarakat inklusif saya masih berada di titik Undang-undang dan HAM tanpa tanda-tanda melepas diri dari lumpur anggapan bahwa disabilitas adalah ketidakmampuan.
Saat itu 'inklusif' belum hadir di jiwa. Kata itu baru muncul saat salah seorang tunanetra yang kemudian menjadi teman diskusi saya menceritakan banyak hal tentang disabilitas mulai dari penggunaan istilah disabilitas dan difabel sampai kaitan antara disabilitas dan kemiskinan. Dari diskusi itu kesadaran berinklusi merasuki jiwa kuno saya dengan stigma dangkal tentang disabilitas.
Tulisan teman-teman tunanetra yang rutin di-upload di blog turut meruncingkan logika. Kemudian saya mengerti betapa inklusif bukan sekadar pemenuhan fasilitas, tapi juga keadaan pola interaksi dan respon masyarakat. Masyarakat inklusif saya masih berada di titik Undang-undang dan HAM tanpa tanda-tanda melepas diri dari lumpur anggapan bahwa disabilitas adalah ketidakmampuan.
Jika saya adalah listrik maka Tusiwork bola lampunya. Setiap orang
berdaya untuk mengubah masyarakat bahkan dunia. Pengaruh sekecil debu dapat
memberi dampak seperti batu. Maka setiap orang berdaya seperti listrik dengan
volt tertinggi, namun tak semua memiliki tempat untuk menyalurkan listrik
tersebut. Beberapa malah menyetrum dan melukai atau bermanfaat di sekitar dan
sisanya hanya memendam. Saya tidak tahu tentang orang lain, tapi saya sudah
menemukan tempat untuk bersinar.
0 komentar: