Selasa, 07 Januari 2020

[Cerita Volunteer] Cerita Bola Lampu by Kak Thania Novita


Setiap manusia berdaya seperti listrik. Kisah mereka seperti aliran listrik yang berakhir menghidupkan televisi, cas ponsel, dan/atau lampu. Cerita saya adalah aliran kecil sederhana tanpa disabilitas. Mengenal mereka hanyalah sebatas membaca buku biografi Helen Keller yang tebal buku tak cukup menampung semua kisahnya. Usaha Helen Keller yang jatuh bangun untuk sekadar belajar berbicara kemudian membuat kekaguman muncul dan mendorong saya mencari tahu lebih tentang disabilitas.
Salah satu aktifitas belajar di kelas Tusiwork
Seorang teman mungil yang senang memperjuangkan hak kemanusiaan kemudian mengantar saya menuju Yapti untuk kegiatan volunter. Entah bagaimana saya berada dalam sebuah kelas Bahasa Inggris bersama delapan tunanetra dan beberapa kakak volunter. 

Awalnya sedikit gugup dengan pemikiran-pemikiran kolot saya bahwa bertemu dengan orang-orang berbeda akan membutuhkan waktu serta usaha untuk dapat mengerti mereka. Pemikiran itu runtuh beberapa menit setelah bertemu. Tak ada yang berbeda. Mereka berjalan, tertawa, bercanda, mengantuk saat belajar, dan bersenandung menuruni tangga. Semua sama seperti saya saat di kelas dan teman saya lainnya.

Tunanetra Sighted Network atau akrab disapa Tusiwork adalah komunitas tempat saya membantu mendampingi pengajaran Bahasa Inggris dan Kelas Literasi yang mengarahkan tunanetra menulis setiap sabtunya. Sekali lagi pikiran kolot saya runtuh melihat tunanetra mengetik tulisan di laptop dan meng-upload ke blog. 

Saat itu 'inklusif' belum hadir di jiwa. Kata itu baru muncul saat salah seorang tunanetra yang kemudian menjadi teman diskusi saya menceritakan banyak hal tentang disabilitas mulai dari penggunaan istilah disabilitas dan difabel sampai kaitan antara disabilitas dan kemiskinan. Dari diskusi itu kesadaran berinklusi merasuki jiwa kuno saya dengan stigma dangkal tentang disabilitas.

Tulisan teman-teman tunanetra yang rutin di-upload di blog turut meruncingkan logika. Kemudian saya mengerti betapa inklusif bukan sekadar pemenuhan fasilitas, tapi juga keadaan pola interaksi dan respon masyarakat. Masyarakat inklusif saya masih berada di titik Undang-undang dan HAM tanpa tanda-tanda melepas diri dari lumpur anggapan bahwa disabilitas adalah ketidakmampuan.

Jika saya adalah listrik maka Tusiwork bola lampunya. Setiap orang berdaya untuk mengubah masyarakat bahkan dunia. Pengaruh sekecil debu dapat memberi dampak seperti batu. Maka setiap orang berdaya seperti listrik dengan volt tertinggi, namun tak semua memiliki tempat untuk menyalurkan listrik tersebut. Beberapa malah menyetrum dan melukai atau bermanfaat di sekitar dan sisanya hanya memendam. Saya tidak tahu tentang orang lain, tapi saya sudah menemukan tempat untuk bersinar.

Previous Post
Next Post

0 komentar: