Kamis, 05 Maret 2020

Tusiwork Sebagai Jembatan Menuju FLP

Di Sabtu yang lalu 9 November 2019 Tusiwork menyelesaikan kontrak dengan DPD PERTUNI Sulawesi selatan. Adapun program yang dihandel dari kedua organisasi ini sebagai berikut, Pelatihan komputer, Bahasa Inggris dan Literasi. Kegiatan ini berjalan sekitar 3 bulan dan menghasilkan orang-orang yang berkompeten di bidang IT, Bahasa Inggris dan Literasi.
Kelas Literasi bekerja sama dengan FLP Sulsel
Adapun suka dukanya dalam mengikuti kegiatan ini kurangnya teman-teman yang bertahan sampai akhir kegiatan. Sehingga saya merasa rugi jika ada alfa dalam pertemuan demi pertemuan. Kegiatan ini disponsori oleh tusiwork hingga kegiatan ini selesai sesuai waktu yang ditentukan. 

Tusiwork telah menyelesaikan kontraknya tetapi saya sebagai peserta kegiatan sangat kurang ilmu yang saya peroleh dari kegiatan ini. Kekurangan ilmu yang saya maksud pertemuan demi pertemuan yang begitu cepat ibarat air mengalir pada porosnya, sehingga saya selaku peserta berharap pelatihan ini tetap berjalan sebagai tali persaudaraan bagi Tusiwork dan DPD PERTUNI untuk selamanya. 

Satu kebanggaan bagi saya karena sampai saat ini sebahagian teman-teman tusiwork masih meluangkan waktu untuk berbagi ilmu untuk kemajuan teman-teman yang ada di PERTUNI dan sekitarnya. Tak hanya kemajuan teman-teman pertuni yang saya amati melainkan volunter sampai ketua Tusiwork sudah bisa membaca tulisan Braille. 

Di Sabtu, 19 Januari yang lalu saya dibuat terkesima dengan kelas Bahasa Inggris yang dikoordinir oleh Miss. Citra, yang membaca titik demi titik, huruf perhuruf bahkan paragraf demi paragraf hingga menjadi bacaan di atas kertas. Bagi saya dengan hadirnya tusiwork di lingkup DPD PERTUNI memberikan semangat baca dan literasi kepada teman-teman yang berkompeten di bidang Bahasa Inggris, IT dan Literasi.
Terlihat Kakak Volunteer sedang berinteraksi dengan Firdaus di Kelas
Tak hanya sampai di situ, dengan adanya kegiatan seperti ini saya dipertemukan dengan salah satu organisasi yang bergerak di bidang kepenulisan sehingga bisa mengasah bakat yang saya dapatkan dari Tusiwork. Satu kata buat tusiwork terimakasi telah membagi ilmunya secara cuma-cuma. Menurut sebahagian orang, ilmu itu mahal sehingga butuh waktu untuk fokus mempelajarinya, mengamalkannya dan membagikan kepada segelintir orang yang mau mempelajarinya.  

Salam, 


Firdaus 

Selasa, 07 Januari 2020

[Cerita Volunteer] Cerita Bola Lampu by Kak Thania Novita


Setiap manusia berdaya seperti listrik. Kisah mereka seperti aliran listrik yang berakhir menghidupkan televisi, cas ponsel, dan/atau lampu. Cerita saya adalah aliran kecil sederhana tanpa disabilitas. Mengenal mereka hanyalah sebatas membaca buku biografi Helen Keller yang tebal buku tak cukup menampung semua kisahnya. Usaha Helen Keller yang jatuh bangun untuk sekadar belajar berbicara kemudian membuat kekaguman muncul dan mendorong saya mencari tahu lebih tentang disabilitas.
Salah satu aktifitas belajar di kelas Tusiwork
Seorang teman mungil yang senang memperjuangkan hak kemanusiaan kemudian mengantar saya menuju Yapti untuk kegiatan volunter. Entah bagaimana saya berada dalam sebuah kelas Bahasa Inggris bersama delapan tunanetra dan beberapa kakak volunter. 

Awalnya sedikit gugup dengan pemikiran-pemikiran kolot saya bahwa bertemu dengan orang-orang berbeda akan membutuhkan waktu serta usaha untuk dapat mengerti mereka. Pemikiran itu runtuh beberapa menit setelah bertemu. Tak ada yang berbeda. Mereka berjalan, tertawa, bercanda, mengantuk saat belajar, dan bersenandung menuruni tangga. Semua sama seperti saya saat di kelas dan teman saya lainnya.

Tunanetra Sighted Network atau akrab disapa Tusiwork adalah komunitas tempat saya membantu mendampingi pengajaran Bahasa Inggris dan Kelas Literasi yang mengarahkan tunanetra menulis setiap sabtunya. Sekali lagi pikiran kolot saya runtuh melihat tunanetra mengetik tulisan di laptop dan meng-upload ke blog. 

Saat itu 'inklusif' belum hadir di jiwa. Kata itu baru muncul saat salah seorang tunanetra yang kemudian menjadi teman diskusi saya menceritakan banyak hal tentang disabilitas mulai dari penggunaan istilah disabilitas dan difabel sampai kaitan antara disabilitas dan kemiskinan. Dari diskusi itu kesadaran berinklusi merasuki jiwa kuno saya dengan stigma dangkal tentang disabilitas.

Tulisan teman-teman tunanetra yang rutin di-upload di blog turut meruncingkan logika. Kemudian saya mengerti betapa inklusif bukan sekadar pemenuhan fasilitas, tapi juga keadaan pola interaksi dan respon masyarakat. Masyarakat inklusif saya masih berada di titik Undang-undang dan HAM tanpa tanda-tanda melepas diri dari lumpur anggapan bahwa disabilitas adalah ketidakmampuan.

Jika saya adalah listrik maka Tusiwork bola lampunya. Setiap orang berdaya untuk mengubah masyarakat bahkan dunia. Pengaruh sekecil debu dapat memberi dampak seperti batu. Maka setiap orang berdaya seperti listrik dengan volt tertinggi, namun tak semua memiliki tempat untuk menyalurkan listrik tersebut. Beberapa malah menyetrum dan melukai atau bermanfaat di sekitar dan sisanya hanya memendam. Saya tidak tahu tentang orang lain, tapi saya sudah menemukan tempat untuk bersinar.